Ramadhan yang suci dan sangat dimuliakan ini harusnya tidak dinodai oleh perilaku bisnis yang membebani konsumen, terutama para shaimat lapis bawah. Inilah idealitas yang harusnya diperjuangkan semua pihak, meski harus bertabrakan dengan kepentingan pelaku bisnis.
ketika permintaan naik, apalagi menajam, maka harga pun bergerak naik.
ada 2 (dua) hal mendasar yang harus direkonstruksi.
Pertama, bagaimana para konsumen Muslimin dan Muslimat mampu mengimplementasikan makna dasar shaum, antara lain, menahan diri. Sebuah refleksi penting yang harus digarisbawahi adalah bagaimana menahan diri dari pengonsumsian yang berlebihan. Kita dapat bayangkan, dengan jumlah jutaan individu yang berpuasa dikalikan sejumlah barang yang dikonsumsi per hari secara berlebihan, maka tingkat permintaannya menjadi sangat hiperbolik.
Inilah kondisi objektif yang kemudian dieksploitasi oleh para pelaku bisnis. Eksploitasi tersebut, dalam konteks etika bisnis, merupakan tindakan mumpungisme (carpedium) yang merusak stabilitas harga. Mereka memburu rente sebesar-besarnya karena kondisinya memberi kemungkinan, tanpa 'perlawanan' yang berarti dari para konsumen.
kedua, pemerintah seharusnya menertibkan secara proaktif. Atas nama stabilitas harga, aparat bisa melakukan tindakan hukum terhadap para eksploitator yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan itu.. Kini, yang perlu kita analisis lebih jauh adalah dampak kontigion dari mumpungisme adalah sama-sama meningkatkan harga yang hiperbolik. Titik temu kenaikan harga, sekalipun beda faktornya, harusnya juga diambil sikap atau tindakan yang sama. Dengan demikian, alat desaknya bukan semata-mata kritik yang bersifat etis.
Berkaca pada sejarah
Dalam kaitan stabilisasi harga, kiranya tidaklah berlebihan jika pemerintah perlu 'melirik' literature mengenai persoalan serupa yang pernah dikembangakan Khulafa Al Rasyidin. Pada zaman pemerintahan Islami ini, berdiri sebuah lembaga yang bernama hisbah. Lembaga ini punya peran untuk mengontrol sekaligus mengatur 'irama' harga yang tidak merugikan konsumen, tapi juga tetap melindungi kepentingan para pelaku bisnis. Instrumen tersebut dijalankan dengan mengawasi kondisi permintaan dan penawaran. Jika terjadi ketidakseimbangan, terutama kekurangan pasokan, para petugas lembaga hisbah segera mengambil tindakan: meningkatkan pasokan yang seimbang dengan tingkat permintaan.
Dalam perspektif Indonesia, lembaga hisbah seperti itu layak diadopsi oleh sejumlah instansi pemerintah seperti Departemen Perdagangan dan Bulog. Yang perlu diambil di sini terutama spirit etika dalam mengayomi dinamika bisnis yang ada dan kepentingan konsumen (publik). Kedua instansi ini harus terpanggil bagaimana memberikan manfaat kepada masyarakat yang terlindungi hak-haknya dari gejolak harga yang tidak normal. Karenanya, kedua instansi ini jangan menciptakan regulasi yang menstimulasi pergerakan harga. Dan Surat Kepmendag No 1111/2007, harus kita catat, akan mendorong destabilitas harga, terutama pangan (beras). Itulah konsekuensi sebuah kepmen yang memberi kebebasan penuh pada Bulog dalam hal importasi beras yang disertai pembebasan pula pendaratannya ke daerah manapun di Tanah Air ini, termasuk daerah-daerah sentra produksi gabah.
Sumber:
http://www.id.finroll.com/component/content/article/18/5730-administrator.html