Penarikan produk tersebut jelas bukanlah yang pertama dan terakhir. Menurut sebuah artikel di Financial Times yang ditulis oleh Nirmalya Kumar dan Nader Tavassoli dari London Business School (17 Agustus 2006), tahun ini saja setidaknya sudah ada ratusan produk yang ditarik dari pasaran dengan berbagai alasan. Beberapa contoh lainnya yang bisa kita lihat adalah penarikan mikroprosesor Pentium oleh Intel di tahun 1994 yang memaksa Intel merogoh kocek sebesar USD 500 juta. Coca Cola kehilangan 21% pendapatan akibat kasus kontaminasi minuman yang terjadi di Eropa tahun 1999. Bridgestone kehilangan separuh keuntungan akibat kasus Ford-Firestone tahun 2001. Kasus susu beracun yang dialami Snow Brand di Jepang menjatuhkan perusahaan tersebut dari posisi penguasa pasar dalam waktu sangat singkat. Di Indonesia, kita tentu masih ingat dengan kasus obat anti-nyamuk HIT. Tingginya kompetisi, yang membuat perusahaan harus berpacu dengan waktu dan memangkas biaya, sering memaksa perusahaan mengeluarkan produk tanpa pemeriksaan lebih jauh. Di sisi lain, konsumen juga semakin berpengetahuan dan dilengkapi dengan koneksi Internet. Berbekal kekuasaan baru tersebut, konsumen dengan senang hati mengobok-obok kesalahan sekecil apa pun yang dilakukan oleh perusahaan. Penarikan produk seperti itu sering memberikan dampak negatif terhadap brand bersangkutan. Riset demi riset membuktikan berita buruk suatu brand akan beredar 3-4 kali lebih cepat dibanding berita baiknya. Namun menurut Kumar dan Tavossoli, product recall semacam itu sebenarnya bisa dilihat juga sebagai peluang. Contoh yang mereka berikan tentu saja kasus penarikan Tylenol oleh J&J. Penarikan produk tersebut dilihat sebagai bagian dari etika perusahaan yang menjunjung tinggi keselamatan konsumen di atas segalanya, termasuk keuntungan perusahaan. Dalam jangka panjang, etika semacam itu justru akan menguntungkan perusahaan. Untuk mengubah krisis product recall menjadi peluang, kedua profesor marketing tersebut menawarkan formula 4C, yang terdiri dari candid (berterus terang atas kesalahan yang dilakukan perusahaan), contrite (mengambil tanggung jawab atas kesalahan tersebut), compassionate (menunjukkan empati tulus terhadap para korban), dan committed (berkomitmen penuh untuk menyelesaikan masalah yang timbul). (Hmh… seberapa banyak ‘C’ yang telah dilakukan oleh PT Lapindo Brantas?) Pelajaran kedua dari kasus ini: hampir semua ancaman bisa dijadikan peluang, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Belakangan ini beredar wacana untuk mengganti istilah ‘risk management’ menjadi ‘uncertainty management’ yang mencakup ‘positive‘ dan ‘negative uncertainties’. Pemakaian istilah ‘risk’ sering membatasi para pengambil keputusan untuk berfokus pada hal-hal negatif dan melupakan adanya kesempatan untuk menarik manfaat dari ketidakpastian (padahal kita sekarang hidup dalam jaman yang penuh ketidakpastian). Bagaimana Dell menangani kasus ini dan apa dampak yang ditimbulkan oleh keputusan yang dibuatnya patut kita jadikan pelajaran. Mari kita nantikan perkembangan selanjutnya.
sumber: disni
- - Take Better Public Transportation - -
14 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar