Senin, 22 Februari 2010

stimulus moneter lebih potensial dorong ekonomi

JAKARTA, SELASA - Stimulus moneter dalam bentuk penurunan suku bunga acuan oleh BI lebih berpotensi mendorong perekonomian ketimbang stimulus fiskal. Efektivitas stimulus moneter kian meningkat jika perbankan lebih cepat menurunkan suku bunga kredit.

Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa, Senin (16/2) di Jakarta, menjelaskan, stimulus moneter dalam bentuk penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia, atau BI Rate, yang diikuti penurunan suku bunga kredit dapat memberikan dampak lebih signifikan dalam mendorong perekonomian. Alasannya, penurunan suku bunga dapat dinikmati semua pihak, dunia usaha, maupun masyarakat. Dijelaskan, penurunan suku bunga kredit biasanya langsung direspons dengan meningkatnya permintaan kredit.

Hal itu berbeda dengan stimulus fiskal, yang biasanya kurang berdampak signifikan. Ini terjadi karena belanja pemerintah umumnya terlambat. �Jika pemerintah merencanakan belanja lebih pun, dampaknya tetap kecil atau lambat,� kata Purbaya.

Steve Hanke, pakar ekonomi internasional dan kebijakan moneter dari Universitas John Hopkins, berpendapat sama. Ditegaskan, stimulus moneter lebih ampuh untuk membangkitkan perekonomian dalam masa krisis seperti saat ini.

BI masih memiliki amunisi stimulus moneter cukup besar, mengingat suku bunga acuan BI masih berada di level cukup besar, yakni 8,25 persen.

Sejauh ini, penurunan suku bunga acuan BI relatif belum efektif meningkatkan gairah dunia usaha dan belanja masyarakat.

Hal itu karena penurunan suku bunga acuan BI yang dilakukan sejak Desember 2008 belum seluruhnya direspons perbankan dalam bentuk penurunan suku bunga kredit.

Menambah permintaan

Hingga kini, BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin. Sementara, bunga kredit masih stagnan. Kalaupun ada penurunan, hanya dilakukan untuk persetujuan kredit baru.

Transmisi dari suku bunga acuan BI ke suku bunga kredit biasanya memakan waktu sekitar enam bulan. Dalam situasi krisis seperti saat ini, transmisi bisa memerlukan waktu lebih lama.

Hal itu karena bank masih sulit menurunkan bunga dana, terutama deposito. Suku bunga deposito bernilai besar umumnya masih berkisar 11-12 persen per tahun.

Perbankan belum berani menurunkan bunga deposito bernilai besar karena khawatir nasabah menarik dananya. Kekhawatiran kian meningkat karena bank masih sulit mendapatkan pinjaman dari pasar uang antarbank (PUAB).

Sulitnya menurunkan suku bunga deposito, membuat perbankan menahan bunga kredit tetap tinggi. Hal ini dilakukan agar margin keuntungan tidak tergerus.

Pengamat moneter, Iman Sugema, memiliki pandangan berbeda dalam menilai stimulus.

Menurut Iman, stimulus baru bisa dikatakan efektif jika mampu menambah permintaan agregat. Namun, kenyataannya, stimulus baik fiskal maupun moneter yang dilakukan banyak negara kurang efektif.

Stimulus fiskal berupa pemotongan pajak ternyata tidak mendorong konsumsi masyarakat. Stimulus moneter berupa penurunan suku bunga pun ternyata tidak efektif untuk mendorong bank menyalurkan kredit lebih banyak.

Oleh karena itu, Iman mengusulkan, agar lebih efektif, stimulus fiskal seharusnya lebih banyak berbentuk belanja pemerintah, untuk membeli produk dalam negeri. Langkah ini akan memacu kegiatan sektor riil dalam negeri.

Adapun untuk stimulus moneter, kata Iman, BI sebaiknya kembali ke cara lama, yakni menyalurkan kredit langsung ke sektor riil. �Sayangnya, undang-undang melarang BI melakukan hal itu,� kata Iman.


sumber: klikpajak.com

0 komentar: